BREAKING NEWS

Info PPDB

Hasil Karya Siswa

Pengumuman

From our Blog

Tampilkan postingan dengan label Positive Parenting. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Positive Parenting. Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 November 2015

Mempersiapkan Anak Masuk Sekolah Dasar

sdintegral.sch.id — Ayah Ibu, kebanyakan orangtua cenderung fokus mengajarkan membaca, menulis dan berhitung (calistung) pada putra-putrinya jika telah masuk TK B. Bahkan ada yang diikutkan les membaca, menulis dan berhitung, karena khawatir tidak bisa masuk SD yang diinginkan.Kebanyakan orang tua justru melupakan hal-hal lain yang lebih dibutuhkan ketika anak mereka di SD. Apa saja yang sebaiknya dipersiapkan orangtua agar anak-anaknya kelak siap belajar di SD?

     Di bawah ini hal-hal yang perlu disiapkan sebelum masuk SD: 
  1. Persiapkan mentalnya. Jika sudah dekat waktunya, beri wawasan tentang kondisi di sekolah dasar. Mulai lingkungan sekolahnya, model belajarnya. Tetapi tidak boleh menakut-nakutinya.Dengan menakut- nakuti malah akan membuat anak cemas dan takut.
  2.  Membekalinya dengan pengetahuan agama. Menanamkan akhlaqul karimah dengan memberinya tauladan dan wawasan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan saat belajar atau bermain akan membantu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Selain itu membekalinya dengan Al Qur’an baik bacaan maupun hafalan juga dibutuhkan, apalagi sekolah yang dipilih adalah sekolah Islam.
  3.  Dilatih keterampilan hidup. Ajarkanlah keterampilan hidup sederhana seperti memakai baju berkancing dan kaos, memakai celana, sabuk, memakai kaos kaki dan sepatu, makan sendiri, membersihkan diri setelah BAK dan BAB, menyisir rambut, dll. Keterampilan hidup ini akan mendidik anak menjadi mandiri dan percaya diri.
  4. Dilatih memahami prosedur kerja. Jika anak terbiasa dengan prosedur, akan sangat membantunya jika dia melakukan kegiatan belajar di SD. Di rumah melatih prosedur dapat dilakukan dengan intensif, misalnya melatih prosedur makan, anak diminta membantu menyiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk makan, kemudian bagaimana makan yang baik, dan apa yang dilakukan setelah makan (piring dan gelas kotor diletakkan dimana, cuci tangan dll).
  5.  Mampu mengikuti aturan. Kemampuan mengikuti aturan ini berhubungan dengan kontrol diri mereka dan rasa tanggung jawab dalam dirinya. Supaya anak-anak dapat mengontrol dirinya, beri kesempatan pada mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengaktifkan seluruh inderanya, seperti main pasir, ublek, playdoug, main air, memasak, mengenal berbagai bau, rasa dan tekstur dsb. Jika inderanya sudah aktif anak-anak akan lebih mudah mengontrol/mengendalikan dirinya. Untuk melatih anak bertanggung jawanb dapat dilakukan dengan memberikan tugas-tugas sederhana dirumah secara konsisten, misalnya merapikan tempat tidurnya, membuang sampah, atau membantu membersihkan debu. Dengan kebiasaan melaksanakan tugas di rumah, rasa tanggung jawab akan tumbuh sehingga memudahkan anak mudah mengikuti aturan dimanapun berada.
  6.  Mampu menyelesaikan masalah dengan bahasa. Kemampuan menyelesaikan masalah sangat dibutuhkan dalam bersosialisasi dengan sesama. Melatih menyelesaikan masalah dibutuhkan teladan dari orangtua dan orang dewasa di sekelilingnya. Sikap tenang, sabar dan memberitahu cara menyelesaikan suatu masalah pada anak serta membiasakan anak untuk berbicara dengan baik dalam menyampaikan masalah perlu dimiliki oleh para orang tua.
  7.  Mampu mengelola diri sendiri. Mengelola diri sendiri sangat dibutuhkan ketika anak belajar di sekolah dasar, kapan saatnya dia harus fokus, kapan dia harus menanggapi, kapan dia boleh bermain dan kapan dia harus mengerjakan tugas. Dengan kemampuan mengelola diri dengan baik, maka anakpun akan banyak menyerap pelajaran. Kemampuan ini berhubungan erat dengan kontrol diri dan aturan yang telah dilatihkan. Jika anak telah mampu mengontrol dirinya dan dapat mengikuti aturan, Insya Allah dia juga akan mampu mengelola dirinya.
  8.  Mampu bekerjasama dengan teman menghasilkan karya yang realistisKemampuan bekerjasama sangat dibutuhkan untuk belajar secara kelompok di sekolah dasar. Untuk itu memberinya kesempatan untuk bermain dan berteman dengan teman-teman sebayanya akan sangat mendukung kemampuan bekerjasama pada anak.
  9. Mampu menggunakan motorik kasar dan halus serta kontrol dalam bemain. Perkembangan motorik kasar dan halus ini sangat penting karena mempengaruhi kemampuan berpikirnya. Beri kesempatan anak untuk mengembangkan motorik kasarnya dengan mengajaknya berolahraga dan bergerak terarah, dan latihlah motorik halusnya dengan bermain pasir, play dough dll.
  10. Perkenalkan juga keterampilan dasar membaca dan menulis tanpa dengan mendrillingnya. Misalnya: di rumah kita bisa melabelisasi barang-barang yang ada di rumah, sehingga anak terbiasa dengan huruf, atau saat jalan-jalan bacalah tulisan-tulisan yang kita lihat, bacakan cerita setiap malam sehingga kosa kata anak banyak. Sedangkan untuk berhitungnya libatkanlah dalam kegiatan ketika makan, belanja atau jalan-jalan. Sama-sama menghitung piring, menghitung belanjaan atau menghitung kendaraan yang lewat. Buatlah kegiatan-kegiatan tersebut menyenangkan, sehingga anak akan termotivasi untuk terus mempelajarinya.
  11. Ayah Ibu, ternyata tidak hanya kemampuan calistung yang harus disiapkan, tetapi wawasan agama, emosi, sosial dan kemandirian itu jugasangat dibutuhkan dan harus benar-benar kita latihkan pada anak kita, sebagai bekal masuk SD. Anak yang matang dan siap masuk SD akan menjadi anak yang percaya diri dan berprestasi. 
         Ustzh.Wida Al Maidah (Ketua Integral Learning Center – ILC)
 

Selasa, 22 September 2015

Guru Profesional, Guru Berkarakter Nabi

sdntegral.sch.id — Tiap tanggal 25 November kita memperingati hari bersejarah bagi para guru, yakni peringatan Hari Guru Nasional (HGN) dan HUT PGRI. Tahun 2014 ini adalah peringatan ke-69, usia yang tidak muda lagi. Usia yang menunjukkan kematangan jika di-qiyas-kan pada diri guru sebagai insan pendidik anak bangsa. Peringatan hari guru bisa dijadikan momentum untuk merefleksi dan muhasabah diri dalam mengemban amanah dan mengabdi dengan sepenuh hati.
Dalam filosofi Jawa, guru adalah sosok yang “digugu dan ditiru”. Yakni sosok yang dipercaya, dianut dan ditauladani. Maka muncul pertanyaan, sebagai seorang guru sudahkah kita patut dipercaya, dianut, dan ditauladani? Pertanyaan ini cukup kita tanyakan kepada hati kita sendiri. Tentunya sambil memperbaiki dan menambal sulam kekurangan diri. Guru mempunyai tanggung jawab yang besar. Di pundak guru-lah masa depan sebuah bangsa dan negara berada. Di tangan merekalah nasib anak bangsa ditentukan.
Problematika dunia pendidikan Indonesia semakin kompleks. Mutu pendidikan yang rendah menjadi penyebab utama rendahnya kualitas generasi bangsa. Rendahnya mutu pendidikan itu salah satunya dipengaruhi oleh kurikulum pendidikan. Kurikulum yang selalu berubah seiring bergantinya pemegang kebijakan, kualitas sumber daya manusia (SDM) pendidik yang lemah, dan biaya pendidkan yang tinggi menjadi permasalahan klasik yang belum terpecahkan. Sehingga tidak heran, muncul istilah “produk gagal” ketika mencetak generasi bangsa.
Masih banyak lagi problematika pendidikan Indonesia yang belum menemukan solusi. Jika dibiarkan berlarut-larut, tentu akan berdampak besar dan fatal bagi keberlangsungan hidup bangsa dan Negara.
Guru Profesional
Dalam membentuk guru professional yang berkarakter Nabi, tiada cara selain dengan meningkatkan kualitas guru. Dalam dunia pendidikan, guru adalah ujung tombak. Guru menduduki posisi tertinggi dalam mentransformasikan ilmu dan karakter kepada anak didiknya. Guru-lah yang terjun langsung berinteraksi dengan peserta didik dalam pembelajaran. Disinilah kualitas pendidikan terbentuk dan ditentukan oleh kualitas guru yang bersangkutan.
Anak didik di-amanah-kan langsung oleh orang tuanya untuk dibimbing sepenuhnya di sekolah. Seorang guru harus siap memikul dan menjaga amanah itu dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, seorang guru harus memiliki semangat yang besar, pantang putus asa, kuat mental dan selalu siap sigap dalam mengemban amanah mulia ini.
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia mempunyai semboyan “Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani’ yang artinya di depan kita memberi contoh, di tengah membangun prakasa dan bekerjasama, di belakang memberi daya semangat dan dorongan. Kesimpulanya, guru yang baik adalah disamping menjadi suri tauladan dan panutan baik ucapan, sikap dan perilakunya, guru juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang, agar anak didik tergugah motivasinya dalam menggapai cita-cita
Untuk menjadi guru yang professional berkarakter nabi, hendaknya seorang guru tidak hanya mengajar (transfer of knowledge) ilmu duniawi semata. Guru juga harus mampu menanamkan nilai-nilai moral dan akhlak. Dalam setiap proses kegiatan belajar mengajar guru harus mampu mengkorelasikan, nilai-nilai materiil kebendaan dengan nilai-nilai spiritual keagamaan. Sehingga dapat mengubah pola pikir, ucapan, perilaku dan membentuk pemahaman bahwa seluruh alam semesta beserta isinya adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa.
Guru Berkarakter Nabi
Allah Swt. berfirman dalam Qs. Al Ahzab ayat 21, yang artinya “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”  Ayat ini menegaskan bahwasa telah ada pada diri Rasulullah Saw, suatu uswah dan qudwah bagi umatnya. Contoh dan Tauladan dari Rasulullah Saw. inilah yang hendaknya menjiwai dan menjadi pegangan bagi para pendidik Islam.
Empat hal paling mendasar yang patut diteladani dari Rasulullah Saw sebagai seorang pendidik muslim, diantaranya adalah sifat dan karakter Shiddiq (Trust)Amanah (Responsibility), Tabligh (Communication) dan Fathonah (Smart).
Shiddiq (Trust) yaitu seorang guru haruslah orang jujur. Jujur apa yang disampaikan itu adalah benar tanpa mengurangi atau menambahinya. Misalnya, dalam konteks pembelajaran, karena belum bisa menjawab pertanyaan dari murid, hendaknya mengatakan “Maaf saya belum tahu”. Tentunya sambil mencari jawabannya.
Amanah (Responsibility) yaitu guru harus sadar bahwa siswa adalah amanah dari orang tuanya dan dari Allah Swt, yang harus dididik dengan benar dan dicetak menjadi anak yang baik. Sehingga Guru bertanggungjawab sepenuhnya terhadap apa yang diajarkannya. Serta dapat menjalankan amanah tersebut dengan sungguh-sungguh serta ikhlas semata-mata mengharap Ridho-Nya.
Tabligh (Communication) yaitu guru haruslah selalu menyampaikan materi pembelajarannya dengan komunikasi yang baik, jelas, akurat, padat dan mudah dipahami. Sehingga transfer of knowledgekepada siswa akan lebih efektif dan efisien. Tentunya dalam kaitan ini, guru sudah harus menyiapkan perangkat pembelajaran yang ideal.
Fathonah (Smart) yaitu guru haruslah menguasai metode pembelajaran dalam kelas yang efektif, menyiapkan perangkat pembelajaran, menguasai ilmu yang akan disampaikan, dan terus berupaya mengasah serta menambah ilmunya.
Guru yang ideal bisa diimplementasikan dari kepanjangan kata “GURU” yaitu Gagasan, Usaha, Rajin dan Ulet. Seorang guru harus kaya dengan gagasan dan ide kreatif. Hal ini menjadikan peserta didik lebih berkembang dan inovatif. Ide tidak akan berjalan jika hanya direncanakan, harus ada usaha maksimum mewujudkannya. Ide dan usaha harus dilandasi dengan kerajinan. Guru harus sungguh-sungguh melaksanakan tugas hingga mencapai yang diharapkan. Jikalau ketiganya bisa berjalan dengan baik, maka sifat ulet (istiqomah) harus ada pada diri seorang guru. Segala perbuatan tanpa sifat istiqomah, maka akan sulit menggapai kesuksesan. Guru yang berhasil mengantarkan kesuksesan belajar siswanya, tidak lepas dari pertolongan dari Allah Swt. Karena itulah, guru harus mendoakan anak didik dalam setiap munajatnya.
Dengan tangan dingin guru, dengan sikap dan sifat lemah lembutnya, semoga kelak lahir pemimpin bangsa yang tangguh. Pemimpin yang mampu membawa kejayaan negeri tercinta ini. Semoga diusianya yang ke-69, guru mampu memberikan persembahan terbaik kepada negeri ini, mampu memberikan sesuatu yang membanggakan bangsa ini, AamiinSelamat Hari Guru Nasional.
 Danang “Soeto Wijoyo” Muslim (Karyawan SD Luqman Al Hakim Surabaya

Anak Sholeh vs Anak Salah

sdintegral.sch.id__Kejahatan bisa datang dari keshalihan”, ungkap Umberto Eco dalam novelnya, The Name of the Rose. Kalimat itu kembali muncul di kolom Jati Diri harian Jawa Pos, Jumat 27 Maret 2015. Tulisan tersebut menarik untuk disimak sekaligus dicermati, berkaitan dengan banyaknya fenomena kejahatan yang ditengarai pelakunya adalah berlabel “Anak Sholih”.
Tulisan Masdar Hilmy di kolom Opini, harian Jawa Pos 27 Maret 2015 yang berjudul Anak Muda di Tengah Pusaran Radikalisme, seakan mempertegas statement tersebut. Masdar menulis, keterlibatan kaum muda dalam pusaran ideologi radikalisme dan terorisme sudah mencapai level yang menghawatirkan.
Berbagai aksi kekerasan yang bernuansa ideologi radikalisme yang kebetulan diperagakan sebagian pemuda menjadi bukti di tengah masyarakat. Beberapa kasus yang ditengarai sebagai luapan aksi radikalisme seperti bom bunuh diri baik di dalam negeri ataupun luar negeri selalu melibatkan peran anak muda.
Penyesatan Opini
Sebuah ungkapan mengatakan “If you repeat a lie often enough, it becomes truth”. Jika anda mengulang suatu kebohongan cukup sering, maka kebohongan tersebut bisa menjadi kebenaran.Maksud ungkapan diatas adalah jika sebuah kebohongan atau keburukan selalu diulang-ulang, maka lama kelamaan akan diterima dan kelak kebohongan tersebut menjadi sebuah kebenaran. Begitupun sebaliknya, jika kebaikan atau kebenaran selalu dicitrakan buruk, selalu disiarkan negatif, maka lama kelamaan kebaikan tersebut dianggap keburukan.
Sholih yang sejatinya baik, tetapi bila terus disiarkan dan dicitrakan buruk, maka bukan tidak mungkin akan tercipta sebuah paradigma buruk pada kata sholih tersebut. Jadi anak yang dianggap sholih atau diindikasikan sholih, akan dijauhi masyarakat bahkan orang tuanya sendiri.
Ust. Budi Ashari,Lc. mengatakan sebagaimana dikutip dari Arrohmah.com, “Para orang tua banyak yang khawatir begitu melihat anaknya berubah menjadi baik. Seorang ibu ketakutan melihat anaknya liburan dari pesantrennya. Karena melihat pakaian putrinya itu sangat rapi menutup aurat sesuai syariat Islam. “Apa anak saya sudah kerasukan pemikiran radikal?”.
Para orang tua ketakutan apabila mendapati putrinya tiba-tiba memakai jilbab bila keluar rumah, membaca Al-Qur’an setiap hari di kamarnya, rajin puasa Senin Kamis, dan buah hatinya tidak mau berjabat tangan dengan sembarang pria karena alasan bukan muhrim.
Dampaknya bukan orang tua saja yang khawatir anaknya menerapkan syariat Islam. Kekhawatiran pun muncul di sekolah tempat anak menimba ilmu pengetahuan. Beberapa sekolah di tanah air sempat melarang siswinya menggunakan jilbab. Seperti yang terjadi disebuah sekolah negeri di Bali pada November 2014.
Bentuk penghakiman seperti di atas sungguh sangat berbahaya. Ibarat virus, ia akan menggerogotimind set masyarakat khususnya para orang tua. Hari ini mungkin pikiran para orang tua belum terpengaruh. Tetapi siapa yang menjamin di hari esok, pernyataan itu akan menghancurkan pertahananpositif thinking mereka pada ajaran agamanya sendiri, yaitu menjadi muslim sejati.
Jika terus dibiarkan, maka suatu hari kita akan menemukan para orang tua lebih nyaman melihat anaknya menjauh dari masjid, atau bahkan memberi wejangan agar jauh dari kajian ke-Islaman di sekolah dan kampus.
Karena melihat orang tuanya yang gamang seperti itu, maka anak pun mengambil jalan hidup sendiri yaitu bergaul tanpa batas, nongkrong di kafe dan pinggir jalan, tidak pernah alpa dan lupa di tempat maksiat. Perlu dicatat, anak yang berkubangan maksiat, penuh dosa tidak akan memberikan aura positif. Bahkan tidak ada jaminan sepotong doa muncul dari bibir anak salah alias ahli maksiat. Anak seperti inikah yang kita inginkan? Tentunya tidak.
Makna Anak Sholih.
Menurut arti kata, sholih adalah adalah taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah. Sedangkan dalam buku Golden Ways Anak Sholih, karangan Zainal Abidin bin Syamsuddin, Lc. Mendefinisikananak sholih adalah dambaan hati, kebanggaan, dan simpanan berharga bagi orang tua. Tempat berkeluh kesah disaat usia senja, tempat berbagi duka dikala nestapa, dan tempat bertumpunya harapan orang tua di masa yang akan datang setelah harapan kepada Allah Ta’ala.
Hanya anak sholih-lah yang akan bisa mencurahkan pikiran, tenaga, harta, dan waktu untuk merawat dan menjaga orang tua selagi hayat masih dikandung badan. Sebaliknya, tidak ada orang tua yang mengharapkan anak salah atau durhaka. Para orang tua tidak menghendaki anaknya justru menjadi musuh baginya. Sebagaimana dalan Al-Qur’an, At-Taghabun ayat 14 : Hai orang-orang yang mukmin, sesungguhnya diantara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi mush bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.”
Anak Sholih Dambaan Orang Tua
Mempunyai anak sholih, orang tua mana yang tidak ingin. Anak sholih akan senantiasa mengalirkan kebaikan kepada orang tuanya, meskipun keduanya telah tiada. Di akhirat kelak, derajat orang tuanya bisa terangkat berkat istighfar anak sholihnya. Rasulullah Saw. bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: Sesungguhnya seseorang yang meninggal dunia diangkat derajatnya di Surga lalu ia berkata, “Wahai Tuhanku, dari manakah ini?” Dia berkata kepadanya, ‘Karena anakmu membaca istighfar untukmu.”
Siapapun orang tua yang sadar dan beriman, pasti mendambakan do’a buah hatinya. Dan anak yang bisa mendoakan orang tuanya hanyalah anak sholih. Sekali lagi, hanya anak sholih-lah yang bisa memohon kepada Rabb-nya agar sekiranya Allah Ta’ala mengasihi orang tuanya, sebagaimana dia dikasihi orang tuanya sewaktu kecil. Firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an, surat Al Isra’ ayat 24 :“Dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagai mereka telah mendidik aku waktu kecil”
Sebagai penghujung tulisan, perbedaan anak sholih dan anak salah jelas terlihat. Anak salah tetaplah salah dalam semua aspek. Ia tidak akan pernah memberikan dampak kebaikan pada orang tuanya, masyarakat dan juga agamanya. Islam tidak pernah menyuruh orang tua melahirkan anak salah, keberadaannya hanya membuat tatanan kehidupan semakin buruk. Sebaliknya anak sholih adalah anak yang selalu meneteskan kebaikan dimanapun ia berada. Ia akan dibanggakan dan dicintai orang tuanya, masyarakatnya dan juga agamanya. Wallahu A’lam bisshowab
Oleh : Ust. Syamsul Alam Jaga, M.Kom (Guru SD Luqman Al Hakim Surabaya)

Jumat, 23 Desember 2011

Mengasuh dan Mengajarkan Anak dengan Positive Parenting

Semua orang tua pasti ingin anak-anaknya tumbuh dengan baik. Cakap, pintar, cerdas, percaya diri, mudah bergaul, kreatif dan segudang nilai-nilai positif lainnya. Tetapi, mewujudkan keinginan mulia seperti poin-poin tersebut gampang-gampang susah. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang gagal mengawal masa keemasan buah hatinya, sehingga pertumbuhan mereka kurang baik. Tidak percaya diri, sulit bergaul, malah cenderung bersifat destruktif.

Kunci pentingnya memang terletak pada keluarga. Paling tidak, begitulah menurut Dornan dan Maxwell. Menurutnya kebiasaan berpikir positif, lingkungan positif, afirmasi positif merupakan faktor penting dalam membangun sikap positif (Dornan dan Maxwell, 1996, Strategi Menuju Sukses. Georgia: Network Twenty One, 1998).

Pakar lain, Berk (1993: 25-28) menyatakan bahwa individu berkembang dan dibentuk lingkungan, diawali pemikiran dan kerja dengan diri sendiri (microsystem), selanjutnya lingkungan keluarga, teman sepermainan, tetangga dekat (mesosystem). Berikutnya lagi meluas ke keluarga besarnya, tetangga jauh (exosystem). Dan yang terakhir adalah nilai, hukum, kebiasaan (macrosystem).

Sekali lagi, kuncinya terletak pada keluarga. Keluarga bisa menjadi penentu paling besar bagi munculnya nilai-nilai positif pada anak. Nilai-nilai yang mereka anut memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, berkenaan dengan tabiat dan budi pekerti. Ini juga yang menentukan bagaimana bentuk kontribusi seseorang terhadap dirinya, keluarganya, lingkungannya, terhadap bangsa bahkan dunia . Bila seseorang berwatak positif, maka energi positif pulalah yang disalurkan ke lingkungan sekitarnya, demikian pula sebaliknya. Karena itu, di kalangan pakar, pemikir maupun konsultan tentang keluarga, dikenal istilah Positive Parenting. Secara harfiah, istilah tersebut bermakna: menjalankan tugas kita sebagai orang tua, baik mengasuh, membesarkan maupun mendidik anak-anak secara positif.

Kini, sudah banyak sekali penulis yang mengkonsentrasikan diri pada tema-tema keluarga. Di Indonesia, penulis yang cukup produktif mengulas masalah-masalah seputar anak dan keluarga adalah Mohammad Fauzil Adhim, sarjana psikologi lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yang sejak muda memang aktif menyebarkan ide-ide dan buah pemikirannya. Selain buku berjudul “Positive Parenting”, ia juga telah menulis buku-buku laris lainnya dengan seperti “Membuat Anak Gila Membaca” (penerbit Al-Bayan, 2004). Saat menyelesaikan buku Positive Parenting ia sudah dikaruniai empat orang anak, dan dia mempunyai obsesi yang besar: ia ingin anak-anaknya menjadi generasi pilihan yang cemerlang hidupnya, tajam pikirannya, jernih hatinya, kukuh jiwanya, dan kuat imannya. Cara mencapai obsesi itulahyang banyak ia paparkan di bukunya yang berjudul Positive Parenting.

Positive Parenting
Fauzil Adhim memaknai positive parenting sebagai upaya menjalankan tugas ke-orangtua-an (parenting), yakni mengasuh, membesarkan, dan mendidik mereka agar bukan saja tidak mematikan segala kebaikan mereka. Lebih dari itu, kita malah harus bisa merangsang inisiatif-inisiatif mereka, mendorong semangat mereka, menunjukkan penerimaan yang tulus dan memberi perhatian yang hangat atas setiap kebaikan yang mereka lakukan. Kita perlu mengembangkan inisiatif positif dan melakukan pendekatan yang positif.

Enam Poin Penting
Secara sederhana, positive parenting menurut Fauzil Adhim meliputi beberapa bagian. Pertama, konsep dasar yang melandasi. Kedua, sikap dasar yang perlu kita miliki dalam menerapkan positive parenting. Ketiga, prinsip-prinsip penting menjadi orang tua yang positif. Dan yang keempat, strategi mengasuh anak secara positif agar membangkitkan potensi-potensi positif mereka; kecerdasan intelektual mereka, emosi mereka dan juga dorongan moralistik-idealistik mereka yang bersumber pada bercahayanya kekuatan ruhiyah mereka.

Ulasannya sangat sederhana dan mudah dipahami. Sebagai penulis, ia banyak menyelipkan hasil pengamatannya terhadap lingkungan, maupun proses dan dampak yang terjadi pada anak-anaknya sendiri. Berikut ini beberapa poin-poin menarik positive parenting yang dapat menjadi pertimbangan kita:

1. Persepsi orang tua terhadap anak. Yang paling awal musti diluruskan tiap orang tua adalah persepsi mereka tentang anak-anak mereka. Bahwa anak-anak kita akan hidup pada masa yang akan datang. Merekalah generasi penerus, sehingga perlu bekal yang kuat, modal yang banyak, bimbingan yang tepat agar mereka bisa menjadi pribadi-pribadi yang berguna bagi lingkungan, masyarakat, negara, bahkan dunianya. Secara khusus, orientasi masa depan yang disampaikan Fauzil Adhim, tidak hanya sampai urusan dunia saja. Melainkan juga sampai ke urusan akhirat. Maksudnya, orang tua juga harus memikirkan dan membimbing pemenuhan kebutuhan religi anak-anak mereka.

2. Bangkitkan semangat. Setiap orang tua harus selalu menjaga agar anak-anak mereka tidak menjadi anak yang pesimis. Caranya, bangkitkanlah semangat mereka setiap saat. Dengan kata lain, orang tua tidak boleh hanya menjamin tersedianya asupan untuk fisiknya seperti makanan, buah-buahan, serta minuman bergizi. Yang harus orang tua berikan juga adalah asupan bagi jiwanya. Berikan mereka inspirasi-inspirasi melalui cerita-cerita berbobot, yang mengisi kehausan jiwa mereka succes story tokoh-tokoh yang penuh semangat, misalnya.

3. Biasakan membaca. Jika perlu, tumbuhkan kebutuhan terhadap bacaan seolah-olah mereka memandang buku layaknya sebuah makanan lezat. Dengan begitu, mereka akan sering menyerap pengetahuan yang terkandung dalam bahan-bahan bacaan tersebut. Anak-anak yang sedari kecil terbiasa membaca akan menyerap, menyaring, mengolah, dan memaknai informasi. Semakin sering mereka membaca buku-buku yang bergizi, teratur, dan baik penuturannya, kemampuan berfikir mereka akan lebih matang dan tertata. Mereka memiliki kerangka berpikir yang kukuh dan rapi. Dasar-dasar kecakapan dan kematangan emosi dipelajari oleh anak melalui buku-buku yang mereka cerna. Sehingga ketika anak menghadapi tantangan, ia mampu mengelola emosinya dengan menggunakan bahan-bahan yang telah tersedia di otaknya. Mengutip pendapat Paul C. Burns, Betty D. Roe & Elinor P Ross dalam buku Teaching Reading in Today’s Elementary Schools. Ada delapan aspek yang bekerja saat kita membaca, yaitu sensori, persepsi, sekuensial (tata urutan kerja), pengalaman berpikir, belajar, asosiasi, dan afeksi. Semuanya berjalan berbarengan saat kita membaca.

4. Waktu yang berkualitas bersama anak-anak. Sesibuk apapun kita sebagai orang tua, anak-anak memiliki hak untuk mendapat perhatian. Alokasikan waktu-waktu kita agar tetap bisa bersama anak-anak. Dari kedekatan itu seorang anak dapat merasakan kehangatan, perhatian dan kasih sayang dari orang tua mereka.

5. Hati-hati terhadap televisi. Banyak pengamat yang memandang negatif program-program televisi. Karena itu, jangan bebaskan anak-anak sesuka hati di depan televisi. Bantulah memilihkan program-program yang baik. Sesekali, pantaulah muatan acara yang ditayangkan televisi, jangan ragu untuk melarang anak-anak jika muatannya terlalu dewasa, kasar, mengajarkan kemalasan dan nilai-nilai negatif lainnya.

6. Gunakan kalimat-kalimat positif. Usahakan mencari kata-kata yang bernuansa positif, ketimbang negatif. Selain anak-anak menjadi terbiasa memandang sesuatu dari sisi positif, kalimat-kalimat positif juga terbukti lebih membangkitkan semangat, mengandung optimisme dan percaya diri.

50 Tahun Mendatang Anak Kita

-M. Fauzil Adhim

Mungkin kita sudah mati dan jasad kita dikubur entah dimana, atau sedang tua renta sehingga harus berpegangan tongkat untuk berjalan; atau sedang menjemput syahid di jalan Allah di hari yang sama dengan jam saat kita berbincang di tempat ini; atau kita sedang menunggu kematian datang dengan kebaikan yang besar dan bukan keburukan. Allahumma Amin……….

50 Tahun Yang Akan Datang…

Anak-anak kita mungkin sudah tersebar di seluruh dunia. Saat itu, mungkin ada yang sedang menggugah inspirasi umat Islam seluruh dunia, berbicara dari Mesir hingga Amerika, dari Makkah Al Mukarramah hingga Barcelona. Ia menggerakan hati dan melakukan proyek-proyek kebaikan, sehingga kota-kota yang pada zaman keemasan Islam yang terang benderang oleh cahaya-Nya, dari Gibraltar hingga Madrid, dari Istambul hingga Shenzhen, kembali dipenuhi gemuruh takbir saat pengujung malam datang. Sementara siangnya mereka seperti singa kelaparan yang bekerja keras menggenggam dunia. Mereka membasahi tubuhnya dengan keringat karena kerasnya mereka bekerja meski segala fasilitas telah mereka dapat, sementara di malam hari mereka membasahi wajah dan hatinya dengan air mata karena besarnya rasa takut kepada Allah Ta`ala. Rasa takut yang bersumber dari cinta dan taat kepada-Nya.

Ya, mereka bekerja keras meski harta sudah di tangan. Mereka gigih merebut dunia bukan karena gila harta dan takut mati (hubbud-dunya wa karahiyatul-maut), melainkan karena mereka ingin menjadikan setiap detik kehidupannya untuk menolong agama Allah `Azza wa Jalla dengan mengambil fardhu kifayah yang belum banyak tertangani. Mereka gigih bekerja karena mengharap setiap tetes keringatnya dapat menjadi pembuka jalan ke surga.

Kelak (izinkan saya bermimpi) anak-anak kita bertebaran di muka bumi. Mereka berjalan di muka bumi meninggikan kalimat Allah, menyeru kebenaran dengan cara yang baik (amar ma`ruf), saling mengingatkan untuk menjauh dari kemungkaran dan mengingat Allah ta`ala dengan benar. Tangan mereka mengendalikan kehidupan, tetapi hati mereka merindukan kematian. Bukan karena jenuh menghadapi hidup dan berputus asa terhadap dunia, melainkan karena kuatnya keinginan untuk pulang ke kampung akhirat dan mengharap pertemuan dengan Allah dan Rasul-Nya.

Mereka inilah anak-anak yang hidup jiwanya. Bukan cuma sekedar cerdas otaknya. Mereka inilah anak-anak yang kuat imannya, kuat ibadahnya, kuat ilmunya, kuat himmahnya, kuat ikhtiarnya, kuat pula sujudnya. Dan itu semua tak akan pernah terwujud jika kita tidak mempersiapkannya hari ini!

50 Tahun Yang Akan Datang…

Di negeri ini…, kita mungkin menemui pusara bapak-bapak yang hari ini sedang mewarnai anak-anak kita. Mereka terbujur tanpa nisan tanpa prasasti, sementara hidangan di surga telah menanti. Atau sebaliknya, beribu-ribu monumen berdiri untk mengenangnya, sementara tak ada lagi kebaikan yang diharapkan. Mereka menjadi berhala yang dikenang dengan perayaan, tetapi tak ada doa yang membasahi lisan anak-anaknya. Na`udzubillahi min dzalik.

Betapa banyak pelajaran yang betabur di sekeliling kita; dari orang yang masih hidup atau mereka yang sudah tiada. Tetapi betapa sedikit yang kita renungkan. Kisah tentang K.H Ahmad Dahlan yang mengulang-ulang pembahasan tentang al-ma`un hingga menimbulkan pertanyaan dari murid-muridnya, masih kerap kita dengar. Jejak-jejak kebaikan berupa rumah sakit, panti asuhan, dan sekolah-sekolah juga masih bertebaran. Tetapi, jejak-jejak ruhiyah dan idealisme yang membuat K.H Ahmad Dahlan bergerak menata akidah umat ini, rasanya semakin lama semakin sulit kita lacak.

Tulisan Hadtratusy-Syaikh Hasyim Asy`ari, sahabat dekat K.H Ahmad Dahlan, yang mendirikan Nahdlatul Ulama, masih bisa kita lacak, meski semakin langka. Tetapi, jejak-jejak ruhiyah dan idealisme sulit kita temukan. Apa yang dulu diyakini haram oleh Hadratusy-syaikh, hari ini justru dianggap wajib oleh mereka yang merasa sebagai pengikutnya.

Apa artinya? iman kita wariskan, kecuali hari ini kita didik mereka dengan sungguh-sungguh untuk mencintai Tuhannnya. Keyakinan, cara pandang, idealisme juga tidak bisa diwariskan ke dada mereka kalau hari ini kita hanya sibuk memikirkan dunianya. Bukan akhiratnya. Atau kita persiapakan mereka menuju akhirat, tetapi kita hanya bekali mereka dengan kekuatan, keterampilan, dan ilmu untuk memenangi hidup di dunia dan menggenggam dengan tangan mereka. Betapa banyak anak-anak yang dulu rajin puasa Senin-Kamis, tetapi ketika harus bertarung welawan kesulitan hidup, imannya yang berubah Senin-Kamis. Kadang ada, kadang nyaris tak tersisa. Na`udzubillah min dzalik.

Teringatlah saya dengan perkataan Nabi Ya`qub saat menghadapi sakaratul maut. Allah Ta`ala mengabadikannya dalam Surat Al Baqarah ayat 133:

Adakah kamu hadir ketika Ya`qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata pada anak-anaknya: ”Apa yang kamu sembah sepeninggalku?”, Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma`il, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya“ (QS. Al –Baqarah: 133).

Ya, inilah pertanyaan Nabi Ya`qub `Alaihi-salam, Maa ta`buduuna min ba`di? Apakah yang akan kalian sembah sepeninggalku? Bukan, “Maa ta`kuluuna min ba`di? apa yang kalian makan sesudah aku tiada?”

Lalu, seberapa gelisah kita hari ini? Apakah kita sibuk memperbanyak tabungan agar kelak mereka tidak kebingungan cari makan sesudah kita tiada? apakah kita bekali mereka dengan tujuan hidup, visi besar, semangat yang menyala-nyala, budaya belajar yang tinggi, iman yang kuat dan kesediaan berbagi karena Allah. Kita hidupkan jiwanya dengan bacaan yang bergizi, nasihat yang menyejukan hati, dorongan yang melecut semangat, tantangan yang menggugah, dan dukungan pada saat gagal sehingga ia merasa kita perhatikan. Kita nyalakan tujuan hidupnya dengan mengajarkan mereka untuk mengenal Tuhannnya. Dan, kita bangun visi besar mereka dengan menghadirkan kisah orang-orang besar sepanjang sejarah; orang-orang saleh yang telah memberi warna bagi kehidupan ini, sehingga mereka menemukan figur untuk dipelajari, dikagumi, dan dijadikan contoh.

50 tahun mendatang anak kita, hari inilah menentukannya. Semoga warisan terbaik kita untuk mereka adalah pendidikan yang kita berikan dengan berbekal ilmu dan kesungguhan. Kita antarkan pesan-pesan itu dengan cara yang terbaik. Sementara doa-doa yang kita panjatkan dengan tangis dan air mata, semoga mengenapkan yang kurang, meluruskan yang keliru, menyempurnakan yang baik dan diatas semuanya, kepada siapa lagi kita meminta selain kepada-Nya?

Ya Allah…, ampunilah aku yang lebih sering lalai daripada ingat, yang lebih sering zhalim dari pada adil, yang sering bakhil daripada berbagi karena mengaharap ridha-Mu, yang lebih banyak jahil daripada mengilmu setiap tindakan, yang lebih banyak berbuat dosa daripada melakukan kebajikan…

Ya Allah Yang Maha Menggenggam langit dan bumi… Kalau sewaktu-waktu Engkau cabut nyawaku, jadikanlah ia sebagai penutup keburukan dan pembuka kebaikan. Kalau sewaktu-waktu Engkau cabut nyawaku, jadikanlah ia sebagai jalan perjumpaan dengan-Mu dan bukan permulaan musibah yang tak ada ujungnya. Jadikanlah ia sebagai penggenap kebaikan agar anak-anak kami mampu berbuat yang lebih baik untuk agamamu.

Ya Allah, jangan jadikan kami penghalang kebaikan dan kemuliaan anak-anak kami, hanya karena kami tak mengerti mereka. Amin…

Mengenalkan Allah kepada Anak

M. Fauzil Adhim

Rasulullah saw. pernah mengingatkan, untuk mengawali bayi-bayi kita dengan kalimat laa ilaaha illaLlah.” Kalimat suci inilah yang kelak akan membekas pada otak dan hati mereka

pas-foto-fauzilKalau anak-anak itu kelak tak menjadikan Tuhannya sebagai tempat meminta dan memohon pertolongan, barangkali kitalah penyebab utamanya. Kitalah yang menjadikan hati anak-anak itu tak dekat dengan Tuhannya. Bukan karena kita tak pernah mengenalkan –meskipun barangkali ada yang demikian—tetapi karena keliru dalam memperkenalkan Tuhan kepada anak. Kerapkali, anak-anak lebih sering mendengar asma Allah dalam suasana menakutkan.

Mereka mengenal Allah dengan sifat-sifat jalaliyah-Nya, sementara sifat jamaliyah-Nya hampir-hampir tak mereka ketahui kecuali namanya saja. Mereka mendengar asma Allah ketika orangtua hendak menghukumnya. Sedangkan saat gembira, yang mereka ketahui adalah boneka barbie. Maka tak salah kalau kemudian mereka menyebut nama Allah hanya di saat terjadi musibah yang mengguncang atau saat kematian datang menghampiri orang-orang tersayang.

Astaghfirullahal ‘adziim…

Anak-anak kita sering mendengar nama Allah ketika mereka sedang melakukan kesalahan, atau saat kita membelalakkan mata untuk mengeluarkan ancaman. Ketika mereka berbuat “keliru” –meski terkadang kekeliruan itu sebenarnya ada pada kita—asma Allah terdengar keras di telinga mereka oleh teriakan kita, “Ayo…. Nggak boleh! Dosa!!! Allah nggak suka sama orang yang sering berbuat dosa.”

Atau, saat mereka tak sanggup menghabiskan nasi yang memang terlalu banyak untuk ukuran mereka, kita berteriak, “E… nggak boleh begitu. Harus dihabiskan. Kalau nggak dihabiskan, namanya muba…? Muba…? Mubazir!!! Mubazir itu temannya setan. Nanti Allah murka, lho.”

Setiap saat nama Allah yang mereka dengar lebih banyak dalam suasana negatif; suasana yang membuat manusia justru cenderung ingin lari. Padahal kita diperintahkan untuk mendakwahkan agama ini, termasuk kepada anak kita, dengan cara “mudahkanlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka lari”. Anak tidak merasa dekat dengan Tuhannya jika kesan yang ia rasakan tidak menggembirakan. Sama seperti penggunaan kendaraan bermotor yang cenderung menghindari polisi, bahkan di saat membutuhkan pertolongan. Mereka “menjauh” karena telanjur memiliki kesan negatif yang tidak menyenangkan. Jika ada pemicu yang cukup, kesan negatif itu dapat menjadi benih-benih penentangan kepada agama; Allah dan rasul-Nya. Na’udzubillahi min dzalik.

Rasanya, telah cukup pelajaran yang terbentang di hadapan mata kita. Anak-anak yang dulu paling keras mengumandangkan adzan, sekarang sudah ada yang menjadi penentang perintah Tuhan. Anak-anak yang dulu segera berlari menuju tempat wudhu begitu mendengar suara batuk bapaknya di saat maghrib, sekarang di antara mereka ada yang berlari meninggalkan agama. Mereka mengganti keyakinannya pada agama dengan kepercayaan yang kuat pada pemikiran manusia, karena mereka tak sanggup merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan. Sebab, semenjak kecil mereka tak biasa menangkap dan merasakan kasih-sayang Allah.

Agaknya, ada yang salah pada cara kita memperkenalkan Allah kepada anak. Setiap memulai pekerjaan, apa pun bentuknya, kita ajari mereka mengucap basmalah. Kita ajari mereka menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tetapi kedua sifat yang harus selalu disebut saat mengawali pekerjaan itu, hampir-hampir tak pernah kita kenalkan kepada mereka (atau jangan-jangan kita sendiri tak mengenalnya?). Sehingga bertentangan apa yang mereka rasakan dengan apa yang mereka ucapkan tentang Tuhannya.

Bercermin pada perintah Nabi saw. dan urutan turunnya ayat-ayat suci yang awal, ada beberapa hal yang patut kita catat dengan cermat. Seraya memohon hidayah kepada Allah atas diri kita dan anak-anak kita, mari kita periksa catatan berikut ini:

Awali Bayimu dengan Laa Ilaaha IllaLlah

Rasulullah saw. pernah mengingatkan, “Awalilah bayi-bayimu dengan kalimat laa ilaaha illaLlah.”

Kalimat suci inilah yang perlu kita kenalkan di awal kehidupan bayi-bayi kita, sehingga membekas pada otaknya dan menghidupkan cahaya hatinya. Apa yang didengar bayi di saat-saat awal kehidupannya akan berpengaruh pada perkembangan berikutnya, khususnya terhadap pesan-pesan yang disampaikan dengan cara yang mengesankan. Suara ibu yang terdengar berbeda dari suara-suara lain, jelas pengucapannya, terasa seperti mengajarkan (teaching style) atau mengajak berbincang akrab (conversational quality), memberi pengaruh yang lebih besar bagi perkembangan bayi. Selain menguatkan pesan pada diri anak, cara ibu berbicara seperti itu juga secara nyata meningkatkan IQ balita, khususnya usia 0-2 tahun. Begitu pelajaran yang bisa saya petik dari hasil penelitian Bradley & Caldwell berjudul 174 Children: A Study of the Relationship between Home Environment and Cognitive Development during the First 5 Years.

Apabila anak sudah mulai besar dan dapat menirukan apa yang kita ucapkan, Rasulullah saw. memberikan contoh bagaimana mengajarkan untaian kalimat yang sangat berharga untuk keimanan anak di masa mendatang. Kepada Ibnu ‘Abbas yang ketika itu masih kecil, Rasulullah saw. berpesan:

“Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini sebagai nasehat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah pasti akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau menginginkan pertolongan, mintalah pertolongan pada Allah. Ketahuilah bahwa apabila seluruh ummat manusia berkumpul untuk memberi manfaat padamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah di dalam takdirmu itu.Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikit pun kecuali atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering.” (HR. At-Tirmidzi).

Dalam riwayat lain disebutkan, “Jagalah hak-hak Allah, niscaya engkau akan mendapatkan Dia ada di hadapanmu. Kenalilah Allah ketika engkau berada dalam kelapangan, niscaya Allah pun akan mengingatmu ketika engkau berada dalam kesempitan. Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang salah dalam dirimu tidak mesti engkau langsung mendapatkan hukuman-Nya. Dan juga apa-apa yang menimpa dirimu dalam bentuk musibah atau hukuman tidak berarti disebabkan oleh kesalahanmu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu akan datang ketika engkau berada dalam kesabaran, dan bersama kesempitan akan ada kelapangan. Juga bersama kesulitan akan ada kemudahan.”

Apa yang bisa kita petik dari hadis ini? Tak ada penolong kecuali Allah Yang Maha Kuasa; Allah yang senantiasa membalas setiap kebaikan. Tak ada tempat meminta kecuali Allah. Tak ada tempat bergantung kecuali Allah. Dan itu semua menunjukkan kepada anak bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah.

Wallahu a’lam bishawab.

Iqra’ Bismirabbikal ladzii Khalaq

Sifat Allah yang pertama kali dikenalkan oleh-Nya kepada kita adalah al-Khaliq dan al-Karim, sebagaimana firman-Nya, “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5).

Setidaknya ada tiga hal yang perlu kita berikan kepada anak saat mereka mulai bisa kita ajak berbicara. Pertama, memperkenalkan Allah kepada anak melalui sifat-Nya yang pertama kali dikenalkan, yakni al-Khaliq (Maha Pencipta). Kita tunjukkan kepada anak-anak kita bahwa kemana pun kita menghadap wajah kita, di situ kita menemukan ciptaan Allah. Kita tumbuhkan kesadaran dan kepekaan pada mereka, bahwa segala sesuatu yang ada di sekelilingnya adalah ciptaan Allah. Semoga dengan demikian, akan muncul kekaguman anak kepada Allah. Ia merasa kagum, sehingga tergerak untuk tunduk kepada-Nya.

Kedua, kita ajak anak untuk mengenali dirinya dan mensyukuri nikmat yang melekat pada anggota badannya. Dari sini kita ajak mereka menyadari bahwa Allah Yang Menciptakan semua itu. Pelahan-lahan kita rangsang mereka untuk menemukan amanah di balik kesempurnaan penciptaan anggota badannya. Katakan, misalnya, pada anak yang menjelang usia dua tahun, “Mana matanya? Wow, matanya dua, ya? Berbinar-binar. Alhamdulillah, Allah ciptakan mata yang bagus untuk Owi. Matanya buat apa, Nak?”

Secara bertahap, kita ajarkan kepada anak proses penciptaan manusia. Tugas mengajarkan ini, kelak ketika anak sudah memasuki bangku sekolah, dapat dijalankan oleh orangtua bersama guru di sekolah. Selain merangsang kecerdasan mereka, tujuan paling pokok adalah menumbuhkan kesadaran –bukan hanya pengetahuan—bahwa ia ciptaan Allah dan karena itu harus menggunakan hidupnya untuk Allah.

Ketiga, memberi sentuhan kepada anak tentang sifat kedua yang pertama kali diperkenalkan oleh Allah kepada kita, yakni al-Karim. Di dalam sifat ini berhimpun dua keagungan, yakni kemuliaan dan kepemurahan. Kita asah kepekaan anak untuk menangkap tanda-tanda kemuliaan dan sifat pemurah Allah dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga tumbuh kecintaan dan pengharapan kepada Allah. Sesungguhnya manusia cenderung mencintai mereka yang mencintai dirinya, cenderung menyukai yang berbuat baik kepada dirinya dan memuliakan mereka yang mulia. Wallahu a’lam bishawab.* (Sumber: Suara Hidayatullah)

Imunisasi Jiwa

<< By.M. Fauzil Adhim >>

Istri saya menangis. Hari itu Fathimah, anak saya yang pertama, bercerita kepada ibunya tentang apa yang ia jumpai dalam perjalanan pulang dari sekolah. Dua anak berseragam SMP berlainan jenis kelamin, menyepi berdua-duaan di lapangan dekat sekolah. Siswa laki-laki mendekatkan wajahnya sehingga keningnya bertemu dengan kening temannya yang perempuan, pipi bertemu dengan pipi, dan selebihnya saya tidak cukup tega untuk menceritakan kepada Anda.
“Terus mereka pegang-pegangan,” kata Fathimah melanjutkan, “Itu kan nggak boleh ya, Bunda?”
Istri saya tersentak. Cerita yang sama sekali tak terduga. Sama seperti pertanyaan yang datang dengan tiba-tiba, kerap membuat kita terkesiap kalau tak menyadari bahwa pertanyaan anak datangnya selalu lebih cepat daripada jawaban yang tersedia di kepala kita.
Maka sungguh, kita tak pernah cukup mengantarkan mereka dewasa kalau kita hanya mengumpulkan perbendaharaan jawaban yang berlimpah. Yang harus kita miliki adalah arah yang kuat dalam mendidik anak, cita-cita yang besar, visi yang jelas dan kesediaan untuk terus belajar. Kuncinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tunjukkan dalam Surat An-Nisaa’ ayat 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (qaulan sadiida).”
Inilah yang harus kita berikan. Ini pula yang harus kita tumbuhkan dalam diri kita. Tetapi, astaghfirullahal-‘adziim, alangkah jauh kita dari Allah. Alangkah rapuh ketakwaan kita kepada-Nya. Padahal Allah‘Azza wa Jalla telah menjanjikan memperbaiki amal-amal kita, tidak terkecuali dalam menyiapkan anak-anak kita menjadi kader dakwah yang iman selalu di hatinya, baik di saat tangan menggenggam dunia seisinya atau pun ketika dunia terlepas dari dirinya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzaab: 70-71).
Jalan Terbaik
Tak ada jalan lain menghadapi cerita dan pertanyaan anak yang mengejutkan, kecuali memanfaatkan saat terbaik ini untuk memberi pengertian dan mengarahkan hatinya kepada kebaikan. Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita, “seburuk apapun”, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka, jalan terbaik adalah menghargai kepercayaan dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa.
Artinya, tak cukup hanya memberikan jawaban sehingga anak paham atau justru menimbulkan pertanyaan baru yang lebih membingungkan. Lebih dari itu, kita memberi jawaban sembari menumbuhkan pada dirinya amanah untuk bertindak. Amanah yang kelak Allah akan minta ia untuk mempertanggungjawabkan.
Mendengar cerita anak saya, istri saya kemudian berkata dengan suara yang dalam dan berat. Ia ajak Fathimah mendekat, sehingga adik-adiknya juga tertarik untuk mendekat.
“Fathim,” kata istri saya menahan tangis, “mereka sebenarnya sedang berbuat dosa. Di antara mereka ada yang tidak tahu kalau itu perbuatan dosa karena mereka tidak pernah belajar agama. Tetapi ada juga yang sudah tahu. Mereka mengerti kalau perbuatan itu dosa, tetapi tidak mau mentaati.”
“Kalau mereka mengerti, kenapa mereka tetap berbuat yang nggak baik? Kan mereka bukan muhrim, Bunda?” Fathim bertanya.
“Nak, untuk taat tidak cukup hanya mengerti. Mereka mungkin ingin menjadi orang yang baik dan tidak berbuat dosa. Tetapi mereka tidak kuat menahan godaan,” kata istri saya.
“Memangnya mereka digoda? Siapa yang menggoda? Kan setannya nggak kelihatan,” tanya Husain menyergah.
Anak yang kedua ini memang sering membuat kejutan dengan pertanyaan yang kritis. “Kelihatan, Nak. Setan itu kadang menggoda lewat bisikan hati, kadang melalui manusia, kadang melalui televisi,” kata istri saya menerangkan.
Kemudian ia mengajak anak-anak berdiskusi tentang apa yang pernah mereka lihat di televisi, meski kami lebih memilih untuk tidak punya televisi di rumah. Tetapi bukankah di kereta api milik PJKA pun kadang tayangan yang disajikan sangat merusak mental anak? Bukankah di bandara pun pesawat televisi senantiasa menyala-nyala?
Istri saya bertutur kepada mereka, seandainya televisi menayangkan program-program yang baik untuk menambah keimanan dan kemuliaan, insya Allah, di rumah akan ada TV. Tetapi tayangan-tayangan di TV memang lebih banyak sampahnya daripada manfaatnya.
“Tapi kan kita bisa melihat berita?” tanya anak saya.
“Iya, Nak. Tetapi di televisi lebih banyak gosip daripada berita. Kalau mau mencari berita, kita bisa baca di koran. Setiap hari di rumah kan sudah ada tiga koran, bisa kita baca. Itu pun kita harus berhati-hati. Tidak boleh langsung percaya,” istri saya menjelaskan.
Istri saya lalu bercerita tentang James Yee, ulama Muslim militer Amerika yang menjadi korban paranoid pemerintah Amerika Serikat. Ia memang baru saja selesai membaca buku For God and Country yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Ia bercerita kepada anak-anak bagaimana James Yee difitnah, dipenjara, dan dianiaya hanya karena ia seorang Muslim. Media massa Amerika sempat menulis berita yang menjelek-jelekkan James Yee.
“Karena itu Nak, kalian semua harus menjadi orang-orang cerdas. Kalian semua harus memiliki iman yang kuat. Kalian semua harus menjadi manusia-manusia cemerlang yang bisa menolong agama Allah,” kata istri dengan mata yang berkaca-kaca.
Kemudian ia mengusap kepala anak saya yang kelima, Muhammad Navies
Ramadhan, sembari berkata, “Kelak, kamu harus memiliki bisnis yang besar. Dunia ada di tanganmu, Nak. Tetapi di hatimu hanya ada cinta kepada Allah.”
Anak-anak kami yang lain menatap. “Aku, Bun? Kalau sudah besar aku juga bisnis?” tanya Husain.
“Iya, Nak. Mukmin yang baik adalah yang paling kuat. Kuat imannya, kuat badannya, kuat usahanya, kuat segala-galanya,” kata istri saya, “Namamu Muhammad Husain As-Sajjad. Ahli sujud. Jadi apa pun kamu nanti, semuanya untuk bersujud kepada Allah.”
Istri saya kemudian menengok kepada anak saya yang ketiga, Muhammad Hibatillah Hasanin, “Kamu, Nak. Semoga kelak kamu seperti namamu, menjadi hadiah bagi orangtua dengan dua kebaikan. Kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat,” kata istri saya.
Airmatanya semakin tak bisa ditahan, meski belum jatuh.
“Dan kamu, namamu Muhammad Nashiruddin An-Nadwi. Kelak, jadilah kamu penolong agama Allah,” ucap istri saya.
Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, membiarkan suaranya parau menahan tangis.
“Nak, ibu kadang-kadang melihat apa yang kamu lihat saat di perjalanan,” kata istri saya sembari menuturkan sebagian pengalamannya, “Ibu lalu berdoa sambil menangis dalam hati, ‘Ya Allah, lindungilah anak-anak kami dari keburukan dan kejahatan. Ya Allah, jadikanlah mereka anak-anak yang bisa meninggikan kalimat-Mu. Ya Allah, jadikanlah mereka ahli berbuat kebaikan.’”
Istri saya menangis. Anak-anak saling berpandangan.
Husain lalu berkata, “Jadi, airmata jatuh ke dalam hati?
Istri saya terdiam.

Satu pelajaran telah kami ambil. Anak-anak harus diberi imuniasasi jiwa. Bukan sterilisasi. Tetapi untuk melakukan imunisasi, jarum suntiknya harus steril. Dan jarum suntik itu adalah pendidikan.*

Beda Pemenang dan Pecundang !!!!

Pemenang selalu bagian dari solusi

Pecundang selalu bagian dari masalah

Pemenang selalu menampilkan program kerja

Pecundang selalu menyodorkan kambing hitam

Pemenang berkata “Akan saya kerjakan!”

Pecundang berkata “Itu bukan tugas saya!”

Pemenang selalu menemukan solusi dalam setiap masalah

Pecundang selalu menemukan masalah dalam setiap solusi

Pemenang melihat rumput hijau di antara bebatuan

Pecundang selalu melihat batu di antara rerumputan

Pemenang bertekad : “Hari ini akan saya tuntaskan!”

Pecundang selalu berniat : “Kapan-kapan jika sempat!”

Pemenang selalu berkata, “Sulit tapi bisa”

Pecundang selalu berkata, Mungkin tetapi sulit”

Anda termasuk yang mana?….

Qian Hong yang Tabah



Qian HongYan - Gadis Puntung yang masih tersenyum

menyambut dunia

Qian Hongyan mengalami kecelakaan dan kehilangan kedua

kakinya bahkan pinggulnya, dan perlu mencari jalan keluar.

Keluarganya di Cina miskin dan tidak dapat membeli kaki palsu, maka ia

menggunakan bola basket untuk memudahkan gerakannya.

Qian Hongyan juga dikenal sbg Basket Ball Girl.

Qian menggunakan dua sangga kayu untuk menyeret

> tubuhnya dan tidak mengeluh,

> > walau dia telah gonta ganti bola basket 6 kali.

ia tetap ke sekolah, walaupun harus bersusah payah ke

sana . Dan.. ia tetap tersenyum menyambut dunia

Setelah bbrp lama, Ada yang berbaik hati dan

menyumbangkan kedua kaki palsu untuk Qian HongYan

Menghibur Teman Senasib dan . Happy aja, Masih

Tersenyum menyambut dunia

ini..


Akan kah kita masih mengeluh dengan kondisi kita? karena alasan hal hal yg
> > kecil.
> > Tidak ada apa apa nya keadaan kita apabila
> dibandingkan dengan keadaan Gadis
> > belia Qian Hong n Yan, yang dapat tetap ceria dan
> bersemangat meskipun
> > kekurangan organ tubuh nya yang sangat vital,
> mobilitas sangat terhambat,
> > keadaan ekonomi yang sangat lemah…. Tetapi tetap
> senyum nya adalah
> > anugerah dari Tuhan yang terindah…..
sumber dari :http://yohanestantama.com

11 Faktor Keberhasilan Siswa


Baik,mari kita buka What Works in Schools: Translating Research into Action yang ditulis oleh Robert J. Marzano. Soal penelitian, Marzano memang dikenal sebagai pakar paling kompeten dalam masalah manajemen kelas. Dari penelitiannya secara intensif selama lebih dari 40 tahun, Marzano telah menghasilkan tak kurang dari 25 buku yang menjadi rujukan penting tentang bagaimana seorang guru seharusnya mengelola kelas.

Lalu apa yang bisa kita petik dari What Works in Schools? Banyak hal. Di antaranya yang menarik perhatian saya adalah kesimpulan Marzano tentang 11 faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa. Kesebelas faktor tersebut tersebar dalam 3 aspek, yakni sekolah, guru dan siswa.
Agar pembicaraan kita lebih efektif, mari kita perbincangkan satu per satu secara ringkas:
Sekolah. Faktor pertama yang sangat menentukan kemampuan sekolah mengantar siswa meraih sukses adalah jaminan bahwa kurikulum yang berlaku di sekolah benar-benar layak diandalkan dan dapat diterapkan oleh guru-guru. Sebaik apa pun kurikulum yang telah dirumuskan oleh sekolah, jika guru-guru tidak mampu menerjemahkan dalam tindakan kelas, maka kurikulum tersebut akan sia-sia. Ujung-ujungnya, untuk memenuhi tuntutan kurikulum, yang dilakukan oleh guru bukan menerapkan kurikulum tersebut setepat dan sebaik mungkin, tetapi melakukan drilling. Sebuah proses latihan agar siswa terampil mengerjakan soal. Bukan memahami materi dan konsep sehingga menguasai pelajaran dengan baik.
Kedua, tujuan yang menantang dan umpan balik yang efektif (challenging goals and effective feedback). Tujuan yang mudah dicapai, tidak merangsang kita untuk berusaha dengan sungguh-sungguh. Sebabnya, tanpa usaha kita bisa meraih tujuan tersebut dengan mudah. Sebaliknya, tujuan yang terlalu sulit dicapai, sementara kapasitas mental untuk berusaha meraih dengan gigih belum terbentuk dengan kuat, menjadikan seseorang merasa tidak mampu meraih. Akibatnya, ia tidak mengerahkan seluruh kemampuannya untuk berusaha.
Sebaliknya, tujuan yang menantang akan mendorong kita untuk berusaha dengan sungguh-sungguh. Kita berjuang mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Semakin upaya kita mendekatkan pada tujuan, semakin kita bergairah. Semakin yakin bahwa upaya yang kita lakukan sudah tepat dan ada manfaatnya, maka akan semakin bersemangat kita melakukannya. Ini berarti perlu umpan balik yang tepat. Tanpa umpan balik yang efektif, semangat yang menyala-nyala itu bisa surut kembali. Meskipun ada sebagian orang yang tetap bersemangat tatkala usahanya tidak memperoleh umpan balik yang berarti, tetapi jenis orang seperti ini sangat sedikit.
Ketiga, keterlibatan orangtua dan komunitas. Ini bagian yang sangat penting. Keberhasilan program pendidikan di sekolah sangat dipengaruhi oleh bagaimana orangtua berinteraksi dengan anaknya. Keselarasan antara sekolah dan orangtua berperan besar dalam mempersiapkan anak meraih sukses. Itu sebabnya, sekolah perlu memiliki program yang secara khusus dirancang untuk membekali orangtua agar memiliki pengetahuan dan kecakapan teknis mengasuh anak serta keselarasan komunikasi dengan sekolah. Pengetahuan dan kecakapan teknis mengasuh bisa diberikan oleh sekolah melalui kegiatan-kegiatan seperti parenting skill class, in house workshop atau berbagai bentuk kegiatan lainnya. Sedangkan keselarasan komunikasi bisa dibangun melalui kegiatan family gathering, breakfast with headmaster, atau blog dan milis orangtua yang dikelola oleh sekolah bersama komite sekolah.
Kegiatan breakfast with headmaster (sarapan bersama kepala sekolah) misalnya, bisa menjadi forum dimana orangtua dapat menyampaikan masukan dan protes secara terbuka. Sebaliknya sekolah bisa menyampaikan harapan maupun kebijakan kepada orangtua secara akrab. Melalui forum semacam ini, ganjalan bisa ditiadakan, komplain bisa segera ditangani dan orangtua tidak perlu melontarkan kritik di depan anaknya. Yang terakhir ini, selain tidak produktif, juga menyebabkan kepercayaan (trust) siswa kepada guru bisa melemah. Padahal kepercayaan merupakan kunci sangat penting bagi keberhasilan pendidikan dan pembelajaran di kelas.
Keempat, lingkungan yang aman dan teratur. Lingkungan yang aman memberi ketenangan bagi staf, guru dan siswa. Sedangkan keteraturan memudahkan siswa beradaptasi dengan peraturan sekolah, peraturan kelas, harapan guru serta keragaman teman. Sedangkan bagi guru, keteraturan memudahkan proses memunculkan perilaku yang diharapkan (expected behavior) dari siswa. Keteraturan juga memudahkan guru membentuk pola belajar.
Kelima, kolegialitas dan profesionalisme (collegiality & proffesionalism). Hubungan yang bersifat kolegial antara guru dengan guru lain, guru dengan kepala sekolah, staf maupun manajemen berperan besar menciptakan komunitas yang bersahabat, akrab, saling menghormati dan saling mendukung. Pada gilirannya, ini sangat menunjang keberhasilan pembelajaran dan pendidikan di sekolah, terutama dalam menciptakan iklim sekolah (school climate) yang hangat dan saling mendukung.
Tentu saja hangatnya hubungan antar guru dan unsur lain di sekolah tidak boleh mengabaikan tugas pokok mereka masing-masing. Itu sebabnya, kolegialitas harus berjalan seiring dengan profesionalisme.
Nah.
***

Guru. Ini merupakan aspek yang paling menentukan. Studi yang dilakukan oleh Marzano menunjukkan bahwa prestasi siswa akan meningkat jika mereka ditangani guru yang efektif, meskipun sekolahnya di bawah rata-rata, bahkan sangat tidak efektif. Lebih-lebih jika guru maupun sekolah sama-sama efektif, pengaruhnya akan lebih dahsyat. Sebaliknya, meskipun sekolah terbilang bermutu, prestasi siswa akan merosot jika guru tidak efektif. Artinya, peran guru dalam menciptakan keberhasilan siswa betul-betul sangat menentukan.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dari aspek guru. Pertama, strategi instruksional. Ini berkait dengan kecakapan guru menyampaikan materi di depan kelas. Ada 9 aspek yang berpengaruh terhadap keberhasilan menyampaikan materi. Tetapi kita belum bisa mendiskusikannya saat ini.
Kedua, kecakapan mengelola kelas (classroom management). Ada empat aspek yang terkait dengan manajemen kelas, yakni penerapan dan penegakan aturan di kelas, strategi pendisiplinan siswa, menjaga dan memperkuat hubungan yang baik antara guru dengan siswa, serta merawat dan menguatkan sikap mental siswa.
Faktor kedua ini sebenarnya perlu pembahasan yang sangat panjang, tetapi kali ini rasanya cukup sampai di sini mengingat kesempatan yang sangat terbatas. InsyaAllah pada lain kesempatan bisa kita perbincangkan secara lebih serius, termasuk terkait dengan bagaimana mengelola anak-anak dengan perilaku bermasalah agar mereka bisa belajar dengan normal sebagaimana yang lain dan tidak mengganggu teman sekelasnya tatkala mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas.
Ketiga, desain kurikulum kelas. Ini berkait dengan bagaimana guru merancang kegiatan di kelas secara terstruktur agar tujuan pembelajaran di kelas secara keseluruhan dapat tercapai.
***

Siswa. Ada tiga faktor yang berpengaruh, yakni lingkungan rumah, kecerdasan yang dipelajari atau pengetahuan yang melatarbelakangi serta motivasi. Saya berharap kita bisa berbincang tentang motivasi siswa secara lebih serius pada lain kesempatan.
Semoga bermanfaat. by.Ust. Fauzil Adhim

Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling


Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual).

Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.

Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri.

Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).

Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.

Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang mempengaruhinya.

Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.

Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada konselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. Pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan (Developmental Guidance and Counseling), atau bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance and Counseling). Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar (standard based guidance and counseling). Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian (periksa lampiran 1).

Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dengan para personal Sekolah/ Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua konseli, dan pihak-pihak ter-kait lainnya (seperti instansi pemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para konseli agar dapat mengem-bangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.

Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputi as-pek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi konseli sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual). akhmadsudrajat.wordpress.com

5 Prinsip Komunikasi dengan Anak


Anak memiliki jiwa yang unik yang perlu diselami secara dalam, terutama hal komukasi. Agar komunikasi berjalan efektif dan diperlukan kiat khusus. Berikut ada lima prinsip komunikasi terhadap anak.

1. Jangan pernah menganggap anak bodoh atau tak tahu apa-apa

Berbeda dengan anggapan banyak orang dewasa ini, anak yang paling kecil sekalipun sebenarnya sudah menyerap banyak hal dari lingkungannya. Ia melihat, merasakan, mendengar dan memikirkan (meski masih dalam kapasitas yang terba-tas). Kadang-kadang bahkan dengan kepekaan yarg luar biasa. Expect more they'll give you more.

2. Hati-hati dengan kemampuan orang tua menghipnotis anak

Prinsip programming komputer garbage in garbage out (sampah yang masuk, sampah yang keluar), benar-benar terbukti dalam pendidikan anak. Kalau orang tua ingin memperoleh output yang berkualitas, masukkanlah bahan-bahan mentah yƤng baik. Pujian, pengharga-an, kata-kata manis, omelan yang proporsional dan tidak rnerendahkan harga diri anak; semuanya menentukan output itu. Sebaliknya, celaan dan hinaan akan menghipnotis anak bahwa dirinya tak berharga sampai ia dewasa.

3. Dibutuhkan kelenturan dan fleksibilitas

Kadang-kadang, orang tua perlu menjadi 'pelindung dan pahlawan', kadang-kadang sebagai teman dan sahabat, dan pada waktunya nanti sebagai seorang ayah/ibu yang realistis menerima berbagai kondisi dan keter-batasan. Tentu dibutuhkan kepekaan untuk itu. Misalnya pada saat sulit, orang tua justru bershenti bersikap sebagai sahabat dan lebih bertindak sebagai pelindung. Sesudah konfrontasi atau krisis, tidak peduli berapapun usianya, anak membutuhkan suasana terlindungi.

Ia, dan juga kita, membutuhkan 'ruang', yang lebih tenang; kita bisa memberinya dengan bersikap sebagai pelindung. Misalnya, dengan berbicara tenang, pandang mata anak. Jangan hujani dengan terlalu banyak pertanyaan. Syukur alhamdulillah, kebanyakan orang tua sebenamya sudah dibekali naluri untuk ber-tindak peka seperti ini, meski semata-mata mengandalkan naluri pun tak terlalu tepat.

4. Semaksimal mungkin menyediakan tiga unsur penting komunikasi yakni; waktu, sentuhan dan bicara.

Tiga faktor utama inilah yang menentukan apakah komuniksi orang tua dan anak akan sehat, apakah anak akan tumbuh kembang normal dan sehat sertasiap memasuki dunia luas. Apakah ia akan tumbuh menjadi anak yang penuh percaya diri dan siap menghadapi tantangan, atau anak penakut dan rendah diri. Bahkan ayah/ibu yang sangat sibuk pun sebenarnya bisa tetap menyediakan waktu yang cukup bagi anak mereka. Ada teknik-teknik untuk itu; misalnya, dengan memberi anak beberapa me-nit perhatian yang tak terbagi dalam sehari.

Semua orang memiliki yang disebut skin hunger k'n langer; ra-sa lapar akan sentuhan. Tak perduli berapa usia kita, kita membutuhkan kasih sayang yang diwujudkan dengan sen-tuhan. Ini bisa berarti, cubit, sayang, gelitikan, gulat atau ciuman. Selama masih bisa, sebanyak-banyaknya sentuhan itu pada anak; tidak akan lama lagi mereka sudah akan merasa malu dicium oleh ayah/ibu mereka. Namun, jangan berhenti karena mereka malu dicium; sentuh dengan cara lain, misalnya meragkul bahu atau menggelitik. Pada dasamya, mereka tetap membutuhkannya. Akan halnya bicara, ba-nyak hal yang bisa diperhati-kan.

Misalnya saja, orang tua dapat berbicara pada anak lewat mendongeng, bacaan ayat suci, nyanyian, 'goda-menggoda, humor dan lelucon. Berbicara adalah juga mendengar dengan baik dan peka; membaca raut muka serta pengungkapan isi hati. Berbicara adalah memuji, mengomeli, sesekali mengancam, menyatakan cinta, menyatakan kesedihan dan kekecewaan. Berbicara adalah menghargai pendapat anak, memintanya menghargai pendapat orang lain. Berbicara bicara serius, ringan ataupun sambil lalu.

5. Menggunakan kreativitas

Tidak semua ketrampilan dan pengetahuan bi diperoleh seketika. Karena itu di-butuhkan keberanian mencoba dan kreativitas. Dua faktor Bantu orang tua menghadapi berbagai tantangan yang mungkin tak bisa dicegah, seperti godaan dari luar rumah. Contoh ketika seorang ibu terpaksa mengambil keputusan pindah dari lingkungan yang sekarang, karena dirasa tak lagi aman bagi perkembangan anak-anaknya.

Bagaimana bila orang tua merasa 'terlanjur' salah dalam berkomunikasi dengan anak? Alhamdulillah, Allah Ta'ala melengkapi manusia dengan kemampuan melupakan suatu pengalaman buruk dan bangkit kembali dari kegagalannya. Karena itu, selamat mencoba resep berkomunikasi dengan anak ini.

Dikutip dari Makalah Shanti W:E: Soekanto pada Seminar Sehari Komunikasi Efektif Orang Tua dan Anak.

Jangan Marah


Malam hari selesai sholat Isyak. Bu Hasna membimbing anak-anknya be;lajar di rumah. Hari itu dzikri. Qoyima, Hawari, dan Afi sudah siap di ruang belajar. Di papan tertuliskan kata Al ‘Afuwww dalam huruf arab. Yang berarti Allh yang Pemaaf. Al ‘Afuww adalah salah satu nama indah yang dimiliki Allah. Bu Hasna membimbing anak-anak untuk menghafal Asmaul Husna dan memahami maksudnya.

“Al Afuww. Apa artinya Bunda?” Tanya Hawari .
‘yang pemaaf.” Jawab Bunda
“Maksudnya bagaiman Bun?” tanya Qoyima.
“ Artinya Allah banyak memaafkan.
Maaf Allah itu sangat luas. Kita harus mengetahuai keluasan maaf Allah nak”
“ Contohnya apa Bunda?” tanya Dzikri.
“kalau dalam ibadah, contohnya Allah memerintah kita shalat. Ketika kita sakit sehingga kita tidak kuat berdiri dalam shalat, maka Allah memberi keringanan, kita boleh sholat sambil duduk, jika kita duduk pun kita tidak kuat, kita boleh sambil berbaring. Jadi Allah meringankan perintah-Nya kepada orang yang tidak mampu menjalani tidak sempurna. Itu tanda Allah memaafkan.”
Aku tahu contoh yang lainya.”Sela Qoyima.
“ Coba kamu sebutkan’Kata Bunda.
“jika orang yang berbuat salah lalu ia minta ampun pada Allah, maka Allah akan menagampuni atau menghapus dosanya.”
“Alhamdulillah. Betul kau Nak.”
‘Bunda. Kata AL’Afuww juga bias dipakai untuk berdo’a dong. Contohnya gimana ?” tanya Afi.
Contohnya kita berdo’a dengan mengucapkan do’a pada Al baqarah ayat 286 Artinya, “ ……. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan rahmatillah kami. Engkaulah penolong kami……..”
“ Kalau kita berbuat salah dengan orang lain gimana Bun?” tanya Hawari
“Ya minta maaf dong pada orangnya.” Sanggah Qoyima.
“kalau orang lain berbuat salah kepada kita tapi ia tidak mau minta maaf gimana?” tanya Dzikri.
“Begini Nak. Hendaklah mengambil nilai kebaikan yang telah Allah ajarkan. Allah itu Maha Pemaaf. Jika kita tidak tahu luasnya maaf Allah. Hendaklah kita selalu memohon maaf-Nya. Banyaklah memohon ampunan-Nya. Jika berhubungan dengan orang lain yang berbuat salah kepada kita, maka lapangkanlah hatimu untuk memaafkanya Maka Allah akan memuliakanmu Nak.”

Menempa Jiwa


Cukuplah orang tua dikatakan menyengsarakan hidup anak apabila ia membiasakan hidup mudah. Segala sesuatu yang mereka perlukan telah tersedia dengan mudah, nyaris tanpa usaha berarti, padahal, pengalaman berusaha dan menyelesaiakan masalah akan menignkatkan kapasitas pribadi seseorang. Sehingga semakin banyak masalah yang mampu ia selesaiakan, semakin tinggi nilai hidupnya.
Sesunguhnya orang tua yang kejam adalah merekan yang tidak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan di usia itu. Kejamlah seorang ibu yang masih selalu menyuapi anaknya, setiap saat, padahal anak seharunya sudah bisa makan sendiri. Kejamlah seorng bapak yang selalu melayani keinginan anak dan memenuhi permintaan mereka. Padahal anak-anak itu kelak harus memiliki kecakapan men-tasharuf-kan hartanya. Kejamlah orang tua hanya memberi uang dan fasilitas berlimpah kepada anaknya tanpa memberi tanggung jawab, kewajiban dan tantangan kepada mereka.
Mari kita belajar dari pohon apel. Sesungguhnya apel tidak berbuah kecuali setelah daunya rontok. Jika ia ditanam di negeri yang tidak mengenal musim gugur, maka kitalah yang akan membantu agar apel tersebut berbuah. Kita membantu mengurangi daun-daunnya.
Pelajaran apa yang bisa kita petik? Perlu tantangan sebelum berbuah. Ada tantangan secara alamiah dihadapi karena kondisi yang tidak terelakan. Tetapi jika kondisi yang diperlukan tidak tersedia, maka kitalah yang harus merancang agar ada tantangan yang”menggairahkan”.
Jika kita menilik sejarah, orang-orang besar adalah mereka memiliki catantan panjang tantang ketanguhan, ketegaran, kegigihan, kejujuran, integritas, yang tinggi, keberanian dan tekad yang kuat untuk menyelesaikan setiap masalah dengan cara sebaik-baiknya sesuai dengan rambu-rambu yang telah di berikan oleh Allah Ta’la dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam ( SAW). Mereka di tempa oleh tantangan yang dating berjenjang- jenjang. Awalnya ringan dulu, lalu datang lagi tantangan yang lebih berat.
Bahkan tidak sedikit orang besar yang sejak lahir sudah dipenuhi kesulitan dan tantangan. Ia lahir dalam kesulitan, besar dalam kesulitan dan kemdian tumbuh menjadi manusia yang sanggup mengatasi berbagai kesulitan yang orang lain takut membayangkannya.
Mereka banyak menghadpi kesulitan, tetapi pada saat yang sama ada kekuatan jiwa untuk menghadapinya. Terkadang kekuatan itu mengalir dari hadirnya seorang ibu yang senantiasa memberi dukungan ketika ia merasa tak sanggup lagi. Di antara orang-orang sukses, banyak mengawali hidupnya dengan berbagai kesulitan. Bahkan sebagian mereka bahkan pernah merasa tak sanggup menghadipnya, lalu ia berikrar agar anaknya tak pernah menjumpai kepahitan hidup yang serupa. Tetapi ia lupa membedakan kepahitan hidup berbeda dengan tantangan. Alih-alih tak ingin anaknya sengsara, justru menghindarkan anak dari tantangan. Diam-diam menjadikan anaknya tak berdaya dengan melimpahi mereka fasilitas dan kemudahan.
Padahak, berlimpahnya fasilitas tanpa tantangan menjadikan anak lemah secara mental, rendah daya juangnya, mudah frustasi karena tak terbiasa menghadapi kesulitan, dan tidak memiliki keterampilan memadai dalam menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari. Mereka inilah yang rawan terkena penyakit affluanza.
Apakah afflueanza itu ? o, banyak sekali definisi yang bisa kita temukan pada kata ini. Tetapi ada beberapa hal yang mempersamakan dari berbagai definisi itu, yakni bahwa afflueanza merupakan kondisi ketika orang menakar keberhasilan dan kebahagiaan dari beberapa banyak uang yang dimiliki, berapa mewah barang yang dikonsumsi, dan beberapa lengkap perangkat yang dipunyai beserta segala kemudahan yang bisa dibeli. Mereka dimanjakan oleh uang karena orang tua sudah merdeka secara financial, tetapi hati mereka hampa dan kebahagiaan sangat jauh dari kehidupan. Semakin mereka menganggap bisa membeli kebahagiaan dengan uang, semakin kering hidup mereka, semakin jauh pula kebahagiaan itu menghindar dari mereka. Di saat itulah mereka semakin sibuk mengejar… denga uang yang mereka punya !!
Padahal, itu justru membuatnya semakin tidak bahagia. Tetapi tak ada pilihan buat mereka sebab yang mereka ketahui, uang bisa beli apapun. Sejak kecil mereka dibesarkan denga kemudahan dan fasilitas, sehingga mereka justru menemukan banyak kesulitan dalam hidup. Apa yang sederhana buat orang lain, bisa menjadi kesulitan besar bagi dirinya.

Perlunya tantangan

Jadi apa yang membuat anak-anak itu lemah dimasa dewasanya? Mereka tak berdaya karena otot mereka, otak mereka dan mental mereka tak pernah ditempa. Mereka lemah karena terlalu banyak dimanja oleh fasilitas berlimpah. Mereka menemui banyak kesulitan karena terbiasa hidup serba mudah. Sesungguhnya, apa yang berat bisa tersa ringan, apabila kita memperoleh tempaan yang cukup untuk menghadapi tantangan. Semakin banyak tantangan yang mampu kita hadapi, akan kuatlah kita denga izin Allah ta’la.
Perlunya memberi kesempatan kepada anak untuk menghadapi tantangan bukan berarti orang tua harus membiasakan anak hidup sulit. Sangat berbeda mempersulit keadaan dengan menempa anak menghadapi kesulitan. Kita memberi kesempatan kepada anak untuk belajar dengan memberinya tanggung jawab, memberi mereka tugas untuk menyiapkan, mengatur dan menjaga apa yang mereka perlukan dalam hidup sehari-hari, serta memberi mereka kesempatan bagi mereka untuk belajar mengurusi dirinya sendiri. Jadi, bukan mereampas hak mereka untuk belajar mandiri.
Bayi usia 1, 5 Tahun misalnya secara alamiah mereka akan terdorong untuk belajar makan sendiri. Tentu saja karena belum memiliki cukup keterampilan, hasilnya bisa belepotan dan mengotori lantai. Tetapi jika atas nama kasih saying, kita tidak memberi kesempatan sehingga kia selalu menyuapinya, anak itu akan terhambat kemampuannya dan sulit tumbuh kemandiriannya.
Di usia-usia berikutnya ketika anak sudah saatnya untuk otonom, kita perlu membimbing mereka untuk menyiapkan sendiri buku pelajaran yang akan di pakai besok dan menyiapkan perlengkapannya. Secara perlahan kita memperkenalkan kepada mereka konsekuensi jika mengabaikan kewajiban. Pada saat yang sama kita mulai perlu memberi mereka tantangan –tantangan bukan membebani.

Di Balik Kesulitan, Ada Kemudahan
Insya Allah melalui tantangan yang datang secara bertahap itu, anak-anak akan belajar memecahkan kesulitan. Sesungguhnya, Allah Ta’ala letakkan kemudahan itu menyertai kesulitan. Bukankah Allah Ta’ala berfirman “ Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudhan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Q.S.Al Insyiraah:5-6).
Muhammad Sulaiman ‘Abdullah al-Asyqar meneragkan dalam tafsirnya yang bertajuk Zubdatul Tafsiir Min Fathil Qadiir bahwa maksud ayat ini ialah sesungguhnya bersama kesulitan terdapat kemudahan lain. Ibnu Mas’ud r.a dengan setatus marfu’ meneragkan seandainya kesulitan itu ada di dalam batu niscaya ia akan di ikuti kemudahan sehingga ia masuk kedalamnya kemudian mengeluarkanya dari batu tersebut. Suatu kesulitan itu tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan. Sesungguhnya Allah berfirman “ karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Sungguh membiasakan anak hidup mudah dapat melemahkan mereka dalam keterampilan hidup, berfikir dan bersikap. Bahkan bukan tidak mungkin menyebabkan mereka lemah iman. Na’udzubillahi min dzaalik ( di kutip dari majalah Hidayatullah “ kolom parenting” Muhammad Fauzil Adzim”)

 
Copyright © 2021 SD Integral Luqman Al Hakim Hidayatullah Bojonegoro
Distributed By Free Premium Themes. Powered byBlogger
banner