BREAKING NEWS

Info PPDB

Hasil Karya Siswa

Pengumuman

Jumat, 23 Desember 2011

Imunisasi Jiwa

<< By.M. Fauzil Adhim >>

Istri saya menangis. Hari itu Fathimah, anak saya yang pertama, bercerita kepada ibunya tentang apa yang ia jumpai dalam perjalanan pulang dari sekolah. Dua anak berseragam SMP berlainan jenis kelamin, menyepi berdua-duaan di lapangan dekat sekolah. Siswa laki-laki mendekatkan wajahnya sehingga keningnya bertemu dengan kening temannya yang perempuan, pipi bertemu dengan pipi, dan selebihnya saya tidak cukup tega untuk menceritakan kepada Anda.
“Terus mereka pegang-pegangan,” kata Fathimah melanjutkan, “Itu kan nggak boleh ya, Bunda?”
Istri saya tersentak. Cerita yang sama sekali tak terduga. Sama seperti pertanyaan yang datang dengan tiba-tiba, kerap membuat kita terkesiap kalau tak menyadari bahwa pertanyaan anak datangnya selalu lebih cepat daripada jawaban yang tersedia di kepala kita.
Maka sungguh, kita tak pernah cukup mengantarkan mereka dewasa kalau kita hanya mengumpulkan perbendaharaan jawaban yang berlimpah. Yang harus kita miliki adalah arah yang kuat dalam mendidik anak, cita-cita yang besar, visi yang jelas dan kesediaan untuk terus belajar. Kuncinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tunjukkan dalam Surat An-Nisaa’ ayat 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (qaulan sadiida).”
Inilah yang harus kita berikan. Ini pula yang harus kita tumbuhkan dalam diri kita. Tetapi, astaghfirullahal-‘adziim, alangkah jauh kita dari Allah. Alangkah rapuh ketakwaan kita kepada-Nya. Padahal Allah‘Azza wa Jalla telah menjanjikan memperbaiki amal-amal kita, tidak terkecuali dalam menyiapkan anak-anak kita menjadi kader dakwah yang iman selalu di hatinya, baik di saat tangan menggenggam dunia seisinya atau pun ketika dunia terlepas dari dirinya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzaab: 70-71).
Jalan Terbaik
Tak ada jalan lain menghadapi cerita dan pertanyaan anak yang mengejutkan, kecuali memanfaatkan saat terbaik ini untuk memberi pengertian dan mengarahkan hatinya kepada kebaikan. Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita, “seburuk apapun”, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka, jalan terbaik adalah menghargai kepercayaan dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa.
Artinya, tak cukup hanya memberikan jawaban sehingga anak paham atau justru menimbulkan pertanyaan baru yang lebih membingungkan. Lebih dari itu, kita memberi jawaban sembari menumbuhkan pada dirinya amanah untuk bertindak. Amanah yang kelak Allah akan minta ia untuk mempertanggungjawabkan.
Mendengar cerita anak saya, istri saya kemudian berkata dengan suara yang dalam dan berat. Ia ajak Fathimah mendekat, sehingga adik-adiknya juga tertarik untuk mendekat.
“Fathim,” kata istri saya menahan tangis, “mereka sebenarnya sedang berbuat dosa. Di antara mereka ada yang tidak tahu kalau itu perbuatan dosa karena mereka tidak pernah belajar agama. Tetapi ada juga yang sudah tahu. Mereka mengerti kalau perbuatan itu dosa, tetapi tidak mau mentaati.”
“Kalau mereka mengerti, kenapa mereka tetap berbuat yang nggak baik? Kan mereka bukan muhrim, Bunda?” Fathim bertanya.
“Nak, untuk taat tidak cukup hanya mengerti. Mereka mungkin ingin menjadi orang yang baik dan tidak berbuat dosa. Tetapi mereka tidak kuat menahan godaan,” kata istri saya.
“Memangnya mereka digoda? Siapa yang menggoda? Kan setannya nggak kelihatan,” tanya Husain menyergah.
Anak yang kedua ini memang sering membuat kejutan dengan pertanyaan yang kritis. “Kelihatan, Nak. Setan itu kadang menggoda lewat bisikan hati, kadang melalui manusia, kadang melalui televisi,” kata istri saya menerangkan.
Kemudian ia mengajak anak-anak berdiskusi tentang apa yang pernah mereka lihat di televisi, meski kami lebih memilih untuk tidak punya televisi di rumah. Tetapi bukankah di kereta api milik PJKA pun kadang tayangan yang disajikan sangat merusak mental anak? Bukankah di bandara pun pesawat televisi senantiasa menyala-nyala?
Istri saya bertutur kepada mereka, seandainya televisi menayangkan program-program yang baik untuk menambah keimanan dan kemuliaan, insya Allah, di rumah akan ada TV. Tetapi tayangan-tayangan di TV memang lebih banyak sampahnya daripada manfaatnya.
“Tapi kan kita bisa melihat berita?” tanya anak saya.
“Iya, Nak. Tetapi di televisi lebih banyak gosip daripada berita. Kalau mau mencari berita, kita bisa baca di koran. Setiap hari di rumah kan sudah ada tiga koran, bisa kita baca. Itu pun kita harus berhati-hati. Tidak boleh langsung percaya,” istri saya menjelaskan.
Istri saya lalu bercerita tentang James Yee, ulama Muslim militer Amerika yang menjadi korban paranoid pemerintah Amerika Serikat. Ia memang baru saja selesai membaca buku For God and Country yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Ia bercerita kepada anak-anak bagaimana James Yee difitnah, dipenjara, dan dianiaya hanya karena ia seorang Muslim. Media massa Amerika sempat menulis berita yang menjelek-jelekkan James Yee.
“Karena itu Nak, kalian semua harus menjadi orang-orang cerdas. Kalian semua harus memiliki iman yang kuat. Kalian semua harus menjadi manusia-manusia cemerlang yang bisa menolong agama Allah,” kata istri dengan mata yang berkaca-kaca.
Kemudian ia mengusap kepala anak saya yang kelima, Muhammad Navies
Ramadhan, sembari berkata, “Kelak, kamu harus memiliki bisnis yang besar. Dunia ada di tanganmu, Nak. Tetapi di hatimu hanya ada cinta kepada Allah.”
Anak-anak kami yang lain menatap. “Aku, Bun? Kalau sudah besar aku juga bisnis?” tanya Husain.
“Iya, Nak. Mukmin yang baik adalah yang paling kuat. Kuat imannya, kuat badannya, kuat usahanya, kuat segala-galanya,” kata istri saya, “Namamu Muhammad Husain As-Sajjad. Ahli sujud. Jadi apa pun kamu nanti, semuanya untuk bersujud kepada Allah.”
Istri saya kemudian menengok kepada anak saya yang ketiga, Muhammad Hibatillah Hasanin, “Kamu, Nak. Semoga kelak kamu seperti namamu, menjadi hadiah bagi orangtua dengan dua kebaikan. Kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat,” kata istri saya.
Airmatanya semakin tak bisa ditahan, meski belum jatuh.
“Dan kamu, namamu Muhammad Nashiruddin An-Nadwi. Kelak, jadilah kamu penolong agama Allah,” ucap istri saya.
Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, membiarkan suaranya parau menahan tangis.
“Nak, ibu kadang-kadang melihat apa yang kamu lihat saat di perjalanan,” kata istri saya sembari menuturkan sebagian pengalamannya, “Ibu lalu berdoa sambil menangis dalam hati, ‘Ya Allah, lindungilah anak-anak kami dari keburukan dan kejahatan. Ya Allah, jadikanlah mereka anak-anak yang bisa meninggikan kalimat-Mu. Ya Allah, jadikanlah mereka ahli berbuat kebaikan.’”
Istri saya menangis. Anak-anak saling berpandangan.
Husain lalu berkata, “Jadi, airmata jatuh ke dalam hati?
Istri saya terdiam.

Satu pelajaran telah kami ambil. Anak-anak harus diberi imuniasasi jiwa. Bukan sterilisasi. Tetapi untuk melakukan imunisasi, jarum suntiknya harus steril. Dan jarum suntik itu adalah pendidikan.*

Posting Komentar

 
Copyright © 2021 SD Integral Luqman Al Hakim Hidayatullah Bojonegoro
Distributed By Free Premium Themes. Powered byBlogger
banner